Menurut saya, saat menjadi mahasiswa/i baru
merupakan saat-saat yang cukup mendebarkan. Pada masa itu kebebasan baru mulai
muncul, pengawasan orang tua mulai kendur karena antara orang tua dan anak terpisah
dengan jarak yang cukup jauh (biasanya). Selain itu, keadaan urbanisasi
(perpindahan dari desa ke kota) bagi mereka yang berasal dari desa saya pikir
juga cukup berpengaruh, karena seseorang yang berasal dari desa akan menemukan
banyak hal baru yang sebelumnya belum pernah ia temukan. Selain itu, secara
psikologis, masa di awal-awal kuliah adalah masa-masa dimana seseorang berada
di puncak usia remaja, yaitu menuju usia 20 tahun. Di masa ini seseorang akan tertarik
untuk mencoba hal-hal baru dan berusaha menemukan identitasnya. Pada masa ini,
seseorang akan bertanya pada dirinya sendiri, “gue siapa sih sebenarnya?”
Oleh karena itu, saya pikir sangat relevan untuk
menghadirkan kembali sosok mahasiswa ideal ke hadapan adik-adik yang baru mau
masuk kuliah, agar sedari awal, kalian mengetahui apa yang seharusnya dikejar
atau yang dilakukan sebagai seorang mahasiswa/i. Ketika kesadaran itu sudah
muncul, maka harapan selanjutnya adalah berkurangnya kebiasaan-kebiasaan unfaedah
yang seringkali diidap oleh mahasiswa/i baru. Tidak hanya kepada adik-adik
mahasiswa/i baru saja sebenarnya, tapi kepada saya pribadi pun tulisan ini akan
sangat bermanfaat, karena saya juga masih berstatus mahasiswa.
Nah, pada tulisan ini, saya ingin menghadirkan buah
pikiran salah satu sosok mahasiswa (ideal menurut saya) bernama Ahmad Wahib.
Memang, tokoh ini agak kontroversial karena ada beberapa kelompok yang
memandang bahwa Ahmad Wahib terlalu liberal dalam pemikirannya. Oleh karena
itu, saya akan berusaha menarik serabut hasil pemikiran Ahmad Wahib yang saya
anggap bisa kita praktikkan bersama, dan meminggirkan hal lainnya yang saya
pikir belum bisa kita cerna.
Ahmad Wahib lahir pada tanggal 9 November 1942.
Setelah tamat dari SMA pada tahun 1961, ia melanjutkan studinya di Fakultas
Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gajah Mada. Namun ia tidak menyelesaikan kuliahnya
di kampus tersebut. Ia meninggal pada tahun 1973 setelah ditabrak oleh
pengendara sepeda motor. Ia termasuk anggota organisasi HMI, aktif berdiskusi
di “Lingkaran diskusi Limited Group” dan diskusi yang sering diadakan di
rumah Dawam Rahardjo. Ia juga sering mengikuti kuliah-kuliah filsafat di STF
Driyarkara. Pada akhir hayatnya, ia sempat bekerja di majalah Tempo sebagai
calon reporter.
Ada satu fakta menarik mengenai jejak rekam
pendidikan Ahmad Wahib, yaitu dia tidak merampungkan kuliahnya di Universitas
Gajah Mada. Maka sebuah pertanyaan muncul, “lalu mengapa kita mengambil Ahmad
Wahib sebagai contoh?” Menurut saya tidak ada kaitannya antara sikap yang ia
miliki dengan tidak selesainya dia dalam menempuh pendidikan di perguruan
tinggi. Lagipula beberapa sumber informasi tidak memberikan penjelasan mengenai
penyebab tidak selesainya Ahmad Wahib dalam menempuh pendidikan di universitas
bergengsi tersebut. Atau mungkin saja Ahmad Wahib sudah cerita di catatan
hariannya, dan saya melewatkannya (ngantuk pada saat membaca). Namun tetap saja,
fakta di atas tidak lantas menggagalkan keingininan kita untuk belajar banyak
hal dari Ahmad Wahib mengenai mentalitas sebagai seorang mahasiswa/i.
Beberapa poin yang akan saya sampaikan mengenai
idealitas mahasiswa/i di bawah ini adalah hasil pembacaan saya terhadap buku
berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam”, sebuah kumpulan catatan harian yang
ditulis oleh Ahmad Wahib. Perlu saya sampaikan di sini bahwa Ahmad Wahib tidak banyak
menulis secara langsung bahwa mahasiswa/i harus begini-begini, namun saya lah
yang mencoba menarik serat-serat berharga dalam tulisannya, kemudian
menggarapnya menjadi beberapa poin penting yang bisa kita pelajari bersama
mengenai bagaimana sebaiknya menjadi mahasiswa/i. Tentu saja poin-poin ini
tidak dapat merangkum semua hal yang ia tuliskan, sehingga sangat bisa saya pastikan
bahwa masih banyak hal-hal penting yang tercecer, yang tidak termuat dalam
tulisan ini.
Lalu apa hal-hal (ideal) yang sebaiknya
dimiliki oleh mahasiswa/i?
Pertama, keberanian untuk berpikir
bebas.
Dari sekian banyak tulisan Ahmad Wahib dalam
catatan hariannya, mungkin judul “Kebebasan Berpikir” adalah judul yang paling
kontroversial. Anda bisa membaca sendiri dalam catatan hariannya, dan jika iman
anda tidak kuat, atau sebaliknya: iman anda terlalu kuat, maka mungkin anda
akan berhenti membaca catatan hariannya, kemudian menyimpan buku tersebut di
dalam kaleng KHONG GUAN. Oleh sebab itu, penting sekali memisahkan terlebih
dahulu kegelisahan Ahmad Wahib mengenai agamanya dalam judul “kebebasan
berpikir” itu, kemudian memeras poin berharga mengenai kebebasan berpikir yang
ia utarakan untuk digunakan pada hal yang lain. Kebebasan berpikir di sini bisa
kita katakan sebagai usaha untuk melepas asumsi kita terhadap sesuatu,
terkhusus pada asumsi-asumsi yang tidak memiliki fondasi yang kuat.
Perkuliahan adalah ajang untuk memperluas
wawasan. Anda harus membuka pikiran, meninggalkan sejenak asumsi mengenai
kepastian terhadap sesuatu. Ragukan segalanya dan bangun ulang keraguan itu
menjadi sebuah keyakinan yang kokoh. Bahasa saya memang sudah kayak motivator
MLM, tapi ... itulah poinnya.
Jika dosen anda masuk ke ruang kelas, dan anda
berasumsi bahwa dosen itu punya pengetahuan yang lebih dari anda, selalu benar
dan tidak pernah salah, maka habislah sudah. Perkuliahan anda tak ubahnya
seperti kaum buruh yang teralienasi dari pekerjaannya. Mboh ... ngomong
apa. Akibatnya: di sepanjang perkuliahan akan anda habiskan dengan membuka
telinga anda selebar-lebarnya untuk mendengarkan ceramahnya, kemudian mengekang
sekuat-kuatnya otak anda untuk berpikir. Jangan seperti itu! Bertanyalah!
Kritisilah! Dengan itu perkuliahan akan menjadi lebih dinamis, bukan sekedar
transfer pengetahuan belaka. MERDEKA!!! Takbir juga boleh.
Dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib mengatakan,
“pada hemat saya orang-orang yang berpikir itu, walaupun hasilnya salah, masih
jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak pernah salah karena tak pernah
berpikir” (2013: 23). Dalam catatan harian saya, saya mengatakan, “pada hemat
saya, orang-orang yang jomblo itu, walau tidak punya pacar, masih jauh lebih
baik daripada mereka yang punya pacar tapi nggak tau kapan mau nikah.” Ehm,
nggak nyambung, sih. LANJUT ... LANJUT !!!
Kedua, membaca, merenung dan
observasi langsung.
Ahmad Wahib mengatakan, “membaca buku-buku dari
segala macam ilmu dan paham dan mendengarkan pendapat-pendapat dari segala
macam ahli akan memperkaya kita dengan formulasi-formulasi (rumusan-rumusan)
yang singkat dan kena” (2013: 103). Aneh rasanya jika ada seseorang mahasiswa/i
yang tidak akrab dengan buku. Lalu dari mana pengetahuan, buah pemikiran,
gagasan dan ide akan ia dapatkan? Dari pacar? Mustahil rasanya ada mahasiswa/i
yang pacarnya tiap hari datang ke kos-kosan untuk memberikan kuliah singkat
mengenai teori strukturasi sosial Anthony Giddens. Dari dosen? Hmmm .... Sayang
juga jika semua pengetahuan harus berasal dari dosen. Jika semuanya hanya
bersandarkan pada pengetahuan dosen, maka sedikit sekali hasil yang akan anda
dapatkan dari perkuliahan.
Oleh karena itu, alternatif lain adalah dari
buku. Ketika dosen membaca, mahasiswa/i membaca, maka di kelas akan terjadi
benturan antara hasil bacaan dosen dan hasil bacaan mahasiswa. Dengan begitu,
pengayaan materi akan sangat mungkin terjadi. Kelas akan banjir pengetahuan,
pertanyaan, sanggahan, apalagi? Cercaan? Mungkin. Tetapi apabila mahasiswa
pasif karena kurangnya pengetahuan dan ia hanya berharap dari pengetahuan
dosen, maka jangan harap ada pengayaan, barangkali mencapai kompetensi dasar
pun akan terseok-seok seperti divingnya Neymar saat melawan Mexico
kemarin. Ough ... Noooo ....
Namun membaca saja tidak cukup, mahasiswa/i
juga perlu banyak merenung. Merenung tidak sama dengan melamun. Merenung ialah
berpikir secara sungguh-sungguh tentang sesuatu hal yang besar. Sedangkan
melamun biasanya berpikir tidak tentu arah, dan kalaupun berpikir, maka yang
dipikirkan biasanya seringkali merupakan hal yang remeh.
Sementara hal lainnya yang penting adalah mengamati
atau observasi langsung. Anda boleh membayangkan bahwa observasi langsung di
sini berupa pengamatan secara ilmiah, yang kemudian ditulis dalam bentuk
laporan atau tugas akhir (skripsi/tesis). Namun sangat sedikit sekali observasi
yang bisa anda lakukan jika maknanya hanya sekedar itu. Oleh karenanya,
pengamatan secara sederhana terhadap fenomena sehari-hari dalam kehidupan anda
juga bisa kita anggap observasi. Gunakan pengamatan itu dengan teori yang telah
anda pelajari. Sesuaikah ia? Tidak sesuaikah ia? Renungkan dan coba cari
solusinya dengan kembali membaca teori.
Salah satu tujuan membaca, merenung dan
observasi langsung menurut Ahmad Wahib adalah untuk membentuk pendapat atau
pemikiran kita sendiri. Ahmad Wahib mengatakan, “banyak membaca harus diimbangi
dengan merenung dan observasi langsung. ... dengan demikianlah kita akan mampu
membentuk pendapat sendiri dan tidak sekedar mengikut pendapat orang atau
memilih salah satu di antara pendapat yang berbeda-beda” (2013: 80).
Ketiga, berorganisasi.
Jika anda membaca catatan harian Ahmad Wahib,
maka anda bisa melihat cukup banyak pembahasan mengenai organisasi. Hal itu
membuktikan bahwa dia aktif dalam organisasi dan punya perhatian yang besar
terhadap organisasi. Namun tidak sekedar berorganisasi, ia juga menginginkan
sebuah organisasi mampu bergerak secara independen aktif. Ia mengatakan bahwa,
“independen artinya bebas, menempatkan diri sebagai insan dan himpunan yang
merdeka, lepas dari tekanan-tekanan luar, dari person atau organisasi, langsung
atau tidak langsung. ... dalam suasana bebaslah kemampuan-kemampuan kreatif
kita akan berkembang menemukan bentuk yang seindah-indahnya” (2013: 275).
Ada banyak manfaat yang bisa diambil dari
berorganisasi, seperti pengalaman manajerial, memperluas jaringan, serta
memiliki wadah untuk mempraktikkan teori yang dipelajari di kampus dalam
kehidupan nyata.
Keempat, jangan pacaran!
Ye malah ketawa? Ini serius. Meskipun pada
beberapa catatan hariannya memperlihatkan bahwa Ahmad Wahib pernah merasakan
kasmaran dan rindu pada pujaan hati, yang jika anda membaca catatannya mengenai
itu mungkin akan terasa ngilu di kaki (kesemutan), namun ada satu catatan yang
mengatakan bahwa dia “lebih baik” ketika tidak berhubungan dengan kegiatan “cinta-cintaan”
itu. Ia mengatakan, “ilmuku terasa bertambah dengan cepat akhir-akhir ini sejak
membebaskan diri dari ‘hubungan-hubungan’ nuisance dengan beberapa teman
putri. Apakah kelembutan wajah itu mengganggu aktivitas mengejar ilmu?” (2013: 320).
Bagaimana? Mari kita renungkan bersama!
SEKIAN.