Hai man-teman....
Kali ini
saya akan mereview satu buku yang baru saja selesai saya baca, judulnya
“Manusia Utuh: Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow”. Buku ini ditulis
oleh Dr. Hendro Setiawan dan diterbitkan oleh penerbit Kanisius. Siapa itu Dr. Hendro
Setiawan? Saya juga tidak tahu, karena buku ini tidak menampilkan biografi
singkat sang penulis. Mungkin beliau terinspirasi dari kata mutiara: “Lihatlah
apa yang dibicarakan, jangan lihat siapa yang berbicara!”. Sehingga pembaca nggak
perlu tau siapa beliau, cukuplah tau apa yang beliau sampaikan. Super
sekali....
Buku ini
membahas pemikiran Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik, mazhab ketiga
dalam psikologi. Buku ini ditulis oleh Dr. Hendro Setiawan. Habis itu, buku ini
direview oleh saya: Ahmad Yazid. Habis itu reviewnya dibaca oleh kalian. Jadiii...
kita-kita ini (termasuk saya), cuman dapat ampasnya saja dari Abraham Maslow.
Tapi nggak apa-apa, yang penting kita bisa melupakan mantan. Emang nggak
nyambung....
Oke,
kembali ke mantan, eh salah... maksud saya: kembali ke buku. Sebelum kita masuk
ke pemikiran Abraham Maslow, kita perlu tau terlebih dulu mengenai sekelumit
kehidupannya dan latar belakang pemikirannya. Sebagaimana kata pepatah: “Tak
Kenal maka Tak Sayang. Tak Sayang maka Tak Nikah-Nikah!” *Aghhh....
Fokus-Fokus...!!!
Abraham
H. Maslow lahir pada tanggal 1 April 1908 dan tumbuh besar di Brooklyn, New
York. Maslow ini keturunan Yahudi. Jadi “H” dalam Abraham H. Maslow itu bukan
singkatan dari Haji, bukan! Tapi singkatan dari Harold.
Masa
kecil Maslow ini begitu menyedihkan, tidak ada teman, ibunya mengerikan, sedih
lah pokoknya. Satu-satunya teman yang ia miliki hanya buku. Kata mutiara
lageee... “Sebaik-baik teman duduk adalah buku.”
Nah, ada
dua hal yang membuat Maslow jadi berubah dan terasa lebih bersemangat dalam
menjalani hidup, yaitu menikah dan bertemu guru-guru besar. Jadi kalau kalian
merasa hampa dalam hidup ini, coba deh nikah! Siapa tau makin hampa. Lah?
Selain
itu, peristiwa lain yang turut mempengaruhi pemikiran Maslow adalah Perang
Dunia II. Pasca Perang Dunia II, banyak orang yang tewas, stres, lumpuh,
trauma, dan sebagainya. Melihat keadaan yang menyedihkan seperti itu, Maslow
tergerak hatinya. Maslow bertekad dalam hidupnya untuk membawa perdamaian dan
memperbaiki keadaan dengan psikologi. Lewat militer tidak mungkin, karena
Maslow sudah tua. Saya juga kebetulan belum lahir pada waktu itu. Kalau
sudah... yaaa... mungkin tewas juga. *Apa sih?
Dari beberapa
hal yang sudah saya sampaikan di atas, saya rasa cukup untuk kita meraba-raba
pemikiran Maslow. Apa saja tadi? Pertama, masa kecil yang tidak bahagia,
kemudian ia bahagia dan semangat dalam hidup setelah menikah dan berguru, setelah
itu ia ingin bermanfaat buat orang banyak karena melihat dampak buruk dari Perang
Dunia II.
Sekarang,
apa buah pemikiran yang paling masyhur serta berdampak luas dalam kehidupan
dunia yang berasal dari Maslow? Tidak lain dan tidak bukan adalah “Hierarki
Kebutuhan”. Sebagaimana kata penulis, Dr. Hendro Setiawan (2017: 38-39),
“Kekhasan pemikiran Maslow yang belum ada pada filsafat manusia sebelumnya,
yaitu memahami manusia dari kebutuhannya.”
Hierarki
kebutuhan ala Maslow ada lima tingkatan, pertama: kebutuhan fisik (makan,
minum, bernafas, dsb), kedua: kebutuhan akan rasa aman (termasuk aman dari
ingatan mantan), ketiga: kebutuhan akan kepemilikan dan cinta, keempat:
kebutuhan untuk dihargai, dan kelima (paling tinggi): kebutuhan aktualisasi
diri (Hendro Setiawan, 2017: 39-42).
Nah,
manusia itu punya hasrat untuk terus bertumbuh dan memenuhi kebutuhannya, mulai
dari kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan diri, hingga
aktualisasi diri. Manusia yang gagal tumbuh adalah manusia yang terkena
penyakit (neurosis dan psikosis). Jadi normalnya kita itu butuh bertumbuh, bagi
yang nggak tumbuh-tumbuh kebutuhannya, maka dia tidak berada dalam garis
normal.
Dari lima
tingkatan kebutuhan itu, bagi Maslow, “tingkatan paling rendah lebih mendesak
dari kebutuhan yang ada di atasnya. Oleh karena itu, sebelum kebutuhan yang
lebih rendah terpuaskan maka kebutuhan yang lebih tinggi belum muncul atau
dominan” (Hendro Setiawan, 217: 43). Sederhananya begini, kalau anda makan aja
masih susah, jangan berharap deh mau mendapatkan cinta atau ngomongin cinta.
Berat.... biar aku saja. *Dilannn lagi.... Tapi kalau kebutuhan makan sudah
terpenuhi, keamanan sudah terjamin, nah... ngomongin cinta jadi enak.
“Dik,
Abang udah punya penghasilan; punya rumah. Maukah adik menjadi istri Abang;
menemani Abang untuk mengarungi hidup ini?”
“Mau,
Bang. Mau banget....”
Beda
kalau makan masih susah, boro-boro mikirin nikah, mikirin makan aja udah pusing.
“Dik, maukah
Adik menikah dengan Abang?”
“Abang
sudah kerja?”
“Belum
Dik, Abang baru lulus SMP.”
“Laluuu...
kalau ntar menikah, kita mau makan apa?”
“Makan...?”
*Garuk-garuk kepala.
Jika
kebutuhan di bawah sudah terpenuhi, maka kebutuhan kita akan naik level, begitu
terus sampai kita berkutat di tingkat aktualisasi diri. Begitulah kurang lebih
gambaran singkat dari “Hierarki Kebutuhan” yang dikonsepkan oleh Abraham H.
Maslow.
Namun
Bapak Dr. Hendro Setiawan juga menganalisis lebih dalam lagi pemikiran Abraham
H. Maslow serta melihat praktiknya di masa sekarang. Dia mendapati bahwa
pemikiran Maslow agak sedikit berbeda pelaksanaannya di masa sekarang. Karena
ada beberapa hal yang mempengaruhinya, sehingga pengamalannya agak sedikit
terganggu.
Inilah
yang menjadi topik utama buku ini. Bagaimana sih pelaksanaan “Hierarki
Kebutuhan” Maslow di masa sekarang? Sama nggak dengan dulu? Kalau beda, apanya
yang beda? Mengapa beda? Jadi bagaimana? Apa solusinya? Dia masih sayang nggak
sama aku? Yang terakhir, abaikan saja!
Pertama, kebutuhan fisik.
Di masa
Maslow, kebutuhan fisik memang sesuatu yang sangat mendesak, karena pada saat
itu lagi masa-masa perang. Makan, minum, pakaian dan kebutuhan fisik lainnya
merupakan kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Sementara untuk saat ini, makan
dan minum tidak lagi menjadi sesuatu yang begitu sulit, meskipun sebenarnya masih
banyak saudara kita yang belum bisa memenuhi kebutuhan fisik, tapi fenomena
yang ada juga memperlihatkan bahwa manusia banyak yang terjebak pada
kebingungan dalam memilih kebutuhan fisik, saking banyaknya pilihan yang ada.
Apa
sebab? Modernitas. Modernitas melahirkan budaya konsumtif. Pasar tumbuh begitu
pesat. Di zaman perang, mau makan pilihannya paling cuma satu: roti. Sekarang,
mau makan apa aja ada, nasi banyak variasi. Roti, banyak variasi. Bakso, banyak
variasi. Mi instan, banyak variasi. Akhirnya apa? kita terjebak hanya pada
kebutuhan fisik saja. Level kebutuhannya nggak naik-naik.
Tidak
hanya masalah makan, tapi juga kebutuhan-kebutuhan remeh lainnya seperti
pakaian, tas, sepatu, perhiasan, gadget, dan masih banyak lainnya,
berseliweran muncul di hadapan kita dengan model yang bermacam-macam. Apakah kita
tergoda? Ya, seringkali.
Sebagaimana
yang dikatakan Dr. Hendro Setiawan (2017: 89), “Sifat kebutuhan fisik yang
mendominasi hidup dan ciri kebutuhan fisik pada masa kini menjadi sangat
beragam dan tak terbatas, membuat hidup kebanyakan manusia hanya terfokus pada
pemenuhan kebutuhan fisik semata”.
Ketika
manusia hanya berkutat pada kebutuhan fisiologis semata, maka mereka akan
stres. Karena pada hakikatnya manusia itu multidimensi. Ada aspek-aspek yang
tidak tersentuh kalau kita hanya berpikir masalah fisik semata. Apa dimensi
lain yang tidak tersentuh? Yaitu ruh dan jiwa.
*Udah
keren belom kalimatnya?
Kedua, Kebutuhan Rasa Aman
Di masa
Maslow, dampak Perang Dunia II mengakibatkan banyak korban jiwa dan banyak pula
yang trauma. Pada titik ini, kebutuhan rasa aman sangat dibutuhkan oleh
manusia. Bagaimana dengan kebutuhan rasa aman di masa sekarang?
Di masa
sekarang, ancamannya mungkin lebih bermacam-macam juga. Perang memang tidak
separah pada zaman dulu, tapi masih ada beberapa wilayah yang sampai sekarang
masih mengalami konflik dan perang. Kemudian muncul ancaman-ancaman baru,
seperti penyakit AIDS, Narkoba, kerusakan alam, pemanasan global, dan sebagainya
(Hendro Setiawan, 2017: 109).
Ketiga, Kebutuhan rasa cinta
Menurut
Dr. Hendro Setiawan (2017: 127), ada tiga produk dunia modern yang berpengaruh
pada pemenuhan kebutuhan cinta pada masa sekarang ini, “1) perkembangan
supremasi hukum di tengah kebebasan manusia; 2) pluralitas manusia; 3)
kentalnya kepentingan diri dalam iklim ekonomi kapitalis.”
Mengenai perkembangan
supremasi hukum di tengah kebebasan manusia, sederhananya begini: pemerintah
membuat berbagai kebijakan termasuk yang ada kaitannya dengan solidaritas
ekonomi seperti membantu orang miskin. Dengan campur tangannya pemerintah dalam
banyak hal, membuat rakyat biasa lainnya sudah tidak perlu lagi sibuk-sibuk
mengurusi tetangganya yang miskin, toh sudah ada bantuan dari pemerintah,
sederhannya begitu. Akibatnya: cinta kepada sesama menjadi semakin menyusut,
dan lama-lama menghilang.
Selain
itu, pluralitas manusia juga berpengaruh. Untuk berhubungan dekat dan
menumbuhkan rasa cinta dengan sesama manusia, kita perlu saling memahami
(Hendro Setiawan, 2017: 135). Dan di zaman sekarang, di tengah berbagai macam
bentuk, jenis, model, watak, suku, dan kepribadian manusia membuat saling
memahami ini semakin sulit dilaksanakan. Ini merupakan tantangan. Kalau kita
gagal untuk saling memahami dan mengenal antar sesama manusia, maka kebutuhan
rasa cinta di level tiga Maslow ini akan sulit dicapai.
Dan
terakhir, kepentingan diri, egois dan sifat individualis sangat tinggi di masa
sekarang. Menurut Hendro Setiawan (2017: 135), “sistem kapitalisme global punya
dampak negatif berupa kecenderungan mereduksi manusia menjadi manusia ekonomi
yang mengejar kepentingan diri.” Artinya apa? perekonomian saat ini, persaingan
pasar saat ini, itu terkadang menjadikan manusia lebih mementingkan dirinya
daripada orang lain. Pokoknya gimana caranya bisa dapat untung banyak, bodo
amat sama orang lain. Atau saking sibuknya ngurusin bisnis, jadi lupa sama
tetangga, teman, keluarga dan sebagainya. Akibatnya: relasi dengan manusia jadi
berkurang. Kalaupun berhubungan dengan manusia lain, bukan dalam rangka
menjalin cinta, tapi menjalin ikatan bisnis agar bisa dapat keuntungan.
Keempat, Kebutuhan Penghargaan Diri
Menurut
Maslow, dalam diri manusia (normal) ada keinginan dan kebutuhan untuk dihargai,
baik oleh dirinya maupun oleh orang lain (Hendro Setiawan, 2017: 149-150). Di
masa Maslow, setelah Perang Dunia II, tentu saja kebutuhan ini sangat penting
untuk mengembalikan kepercayaan diri serta semangat para korban perang. Lalu
bagaimana dengan sekarang?
Lagi-lagi,
modernitas memberi arah yang menyimpang dalam kebutuhan akan penghargaan diri
ini. Menurut Dr. Hendro Setiawan (2017: 153-154), ada beberapa faktor yang
berasal dari modernitas, yang itu berpengaruh pada kebutuhan penghargaan diri
di masa sekarang ini, yaitu: “budaya konsumtif, kompetisi yang ketat, fluktuasi
ekonomi, pluralisme masyarakat, iklim demokrasi, dll”.
Saya
melihat, dari beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, menurut saya yang
cukup kuat dalam menggeser makna kebutuhan penghargaan diri adalah budaya
konsumtif. Dewasa ini, kita terjebak pada budaya konsumtif yang luar biasa. Akibatnya:
kita perlu dihargai bukan karena perilaku, kepribadian atau akhlak kita,
melainkan karena barang atau materi yang kita punya. Pokoknya kalau makannya
belum di kafe ternama, rasanya kita belum mendapatkan penghargaan dari
kawan-kawan. Pokoknya kalau belum punya gadget mahal, rasanya belum
dapat penghargaan dari para kolega. Pokoknya kalau belum nikah, dapat istri
cantik atau suami tampan, punya rumah, dan pekerjaan, rasanya belum dihargai
sebagai seorang manusia. Semuanya berputar dalam ranah materi. Masalahnya, bagaimana
kalau kita tidak mampu mencapai barang-barang tersebut?
Kelima, aktualisasi diri
Di masa
Maslow, kebutuhan untuk aktualisasi diri sangat berguna dan membawa perubahan
yang besar dalam kehidupan masyarakat pasca perang. Namun, aktualisi diri di
masa sekarang malah semakin tidak terarah, aktualisasi diri malah melahirkan
generasi yang egois dan berpusat pada individu manusia itu sendiri. Saking fokusnya
aktualisasi diri, fokus mengerahkan segala potensi diri, akhirnya lupa sama
orang di sebelah.
Jadi, Bagaimana Solusinya?
Sebelum
kita masuk pada solusi yang ditawarkan oleh Dr. Hendro Setiawan, sepertinya
kita harus mengetahui satu hal penting dalam pemikiran Abraham Maslow. Gagasan
Maslow berada pada posisi alamiah. Artinya: ada aspek-aspek yang tidak tersentuh
oleh gagasan Maslow mengenai hierarki kebutuhan. Apa itu? Supranatural.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Maslow, “penjelasan yang berasal dari sesuatu yang alami
adalah lebih mudah dan memuaskan untuk orang-orang berpendidikan daripada
penjelasan yang sifatnya supranatural (Hendro Setiawan, 2017: 206).
Nah... di
sinilah celah yang masih harus ditambal dalam pemikiran Maslow. Hierarki kebutuhan
Maslow masih belum dilengkapi dengan nilai-nilai religius yang ada. Makanya
setiap tingkatan dari hierarki kebutuhan Maslow itu hampa dan cenderung
berbahaya. Sebagaimana yang sudah kita lihat sebelumnya, karena tidak ada nilai
dan semangat spritual di tingkatan kebutuhan fisik, maka manusia cenderung
menafsirkan bahwa makan dan minum aja sepuasnya, konsumsi terus, belanja terus,
tanpa dikontrol oleh nilai-nilai agama. Begitu juga di tingkatan setelahnya,
seperti kebutuhan akan rasa aman, cinta, penghargaan diri dan aktualiasi diri.
Seandainya
saja ada nilai yang mengiringi, maka kita tidak terobsesi untuk untung sendiri,
tidak terobsesi dengan materi semata, kita tidak memandang bahwa saya baru
dihargai kalau saya punya gadget keren, tidak. Ada nilai, ada sesuatu
yang lebih tinggi yang kita junjung dalam setiap hierarki kebutuhan Maslow. Paling
tidak, proses kita untuk menuju aktualisasi diri menjadi lebih terkontrol
dengan nilai-nilai yang ada, tidak membeludak sebebas-bebasnya.
Oleh
karena itu, menurut Dr. Hendri Setiawan (2017: 208), “konsep psikologi Maslow
yang menekankan pemenuhan kebutuhan sesuai hierarki kebutuhan sebagai langkah
menuju puncak kesehatan psikologis, bukan hanya tidak bertentangan tetapi
justru dilengkapi dan disempurnakan oleh penghayatan agama yang benar dan mendalam”.
Dr.
Hendro Setiawan juga menjelaskan mengenai nilai-nilai apa saja yang bisa kita
gunakan untuk menyeimbangkan gagasan “aktualisasi diri” Maslow. Bagaimana
penjelasannya? Silahkan baca bukunya! HAHAHA.....
Sekian.
(Entah kenapa? Di akhir-akhir tulisan ini
saya jadi lebih serius)