Kamis, 01 Maret 2018

REVIEW BUKU: MANUSIA UTUH


Hai man-teman....
 
Kali ini saya akan mereview satu buku yang baru saja selesai saya baca, judulnya “Manusia Utuh: Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow”. Buku ini ditulis oleh Dr. Hendro Setiawan dan diterbitkan oleh penerbit Kanisius. Siapa itu Dr. Hendro Setiawan? Saya juga tidak tahu, karena buku ini tidak menampilkan biografi singkat sang penulis. Mungkin beliau terinspirasi dari kata mutiara: “Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan lihat siapa yang berbicara!”. Sehingga pembaca nggak perlu tau siapa beliau, cukuplah tau apa yang beliau sampaikan. Super sekali....
Buku ini membahas pemikiran Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik, mazhab ketiga dalam psikologi. Buku ini ditulis oleh Dr. Hendro Setiawan. Habis itu, buku ini direview oleh saya: Ahmad Yazid. Habis itu reviewnya dibaca oleh kalian. Jadiii... kita-kita ini (termasuk saya), cuman dapat ampasnya saja dari Abraham Maslow. Tapi nggak apa-apa, yang penting kita bisa melupakan mantan. Emang nggak nyambung....
Oke, kembali ke mantan, eh salah... maksud saya: kembali ke buku. Sebelum kita masuk ke pemikiran Abraham Maslow, kita perlu tau terlebih dulu mengenai sekelumit kehidupannya dan latar belakang pemikirannya. Sebagaimana kata pepatah: “Tak Kenal maka Tak Sayang. Tak Sayang maka Tak Nikah-Nikah!” *Aghhh.... Fokus-Fokus...!!!
Abraham H. Maslow lahir pada tanggal 1 April 1908 dan tumbuh besar di Brooklyn, New York. Maslow ini keturunan Yahudi. Jadi “H” dalam Abraham H. Maslow itu bukan singkatan dari Haji, bukan! Tapi singkatan dari Harold.
Masa kecil Maslow ini begitu menyedihkan, tidak ada teman, ibunya mengerikan, sedih lah pokoknya. Satu-satunya teman yang ia miliki hanya buku. Kata mutiara lageee... “Sebaik-baik teman duduk adalah buku.”
Nah, ada dua hal yang membuat Maslow jadi berubah dan terasa lebih bersemangat dalam menjalani hidup, yaitu menikah dan bertemu guru-guru besar. Jadi kalau kalian merasa hampa dalam hidup ini, coba deh nikah! Siapa tau makin hampa. Lah?
Selain itu, peristiwa lain yang turut mempengaruhi pemikiran Maslow adalah Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia II, banyak orang yang tewas, stres, lumpuh, trauma, dan sebagainya. Melihat keadaan yang menyedihkan seperti itu, Maslow tergerak hatinya. Maslow bertekad dalam hidupnya untuk membawa perdamaian dan memperbaiki keadaan dengan psikologi. Lewat militer tidak mungkin, karena Maslow sudah tua. Saya juga kebetulan belum lahir pada waktu itu. Kalau sudah... yaaa... mungkin tewas juga. *Apa sih?
Dari beberapa hal yang sudah saya sampaikan di atas, saya rasa cukup untuk kita meraba-raba pemikiran Maslow. Apa saja tadi? Pertama, masa kecil yang tidak bahagia, kemudian ia bahagia dan semangat dalam hidup setelah menikah dan berguru, setelah itu ia ingin bermanfaat buat orang banyak karena melihat dampak buruk dari Perang Dunia II.
Sekarang, apa buah pemikiran yang paling masyhur serta berdampak luas dalam kehidupan dunia yang berasal dari Maslow? Tidak lain dan tidak bukan adalah “Hierarki Kebutuhan”. Sebagaimana kata penulis, Dr. Hendro Setiawan (2017: 38-39), “Kekhasan pemikiran Maslow yang belum ada pada filsafat manusia sebelumnya, yaitu memahami manusia dari kebutuhannya.”
Hierarki kebutuhan ala Maslow ada lima tingkatan, pertama: kebutuhan fisik (makan, minum, bernafas, dsb), kedua: kebutuhan akan rasa aman (termasuk aman dari ingatan mantan), ketiga: kebutuhan akan kepemilikan dan cinta, keempat: kebutuhan untuk dihargai, dan kelima (paling tinggi): kebutuhan aktualisasi diri (Hendro Setiawan, 2017: 39-42).
Nah, manusia itu punya hasrat untuk terus bertumbuh dan memenuhi kebutuhannya, mulai dari kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan diri, hingga aktualisasi diri. Manusia yang gagal tumbuh adalah manusia yang terkena penyakit (neurosis dan psikosis). Jadi normalnya kita itu butuh bertumbuh, bagi yang nggak tumbuh-tumbuh kebutuhannya, maka dia tidak berada dalam garis normal.
Dari lima tingkatan kebutuhan itu, bagi Maslow, “tingkatan paling rendah lebih mendesak dari kebutuhan yang ada di atasnya. Oleh karena itu, sebelum kebutuhan yang lebih rendah terpuaskan maka kebutuhan yang lebih tinggi belum muncul atau dominan” (Hendro Setiawan, 217: 43). Sederhananya begini, kalau anda makan aja masih susah, jangan berharap deh mau mendapatkan cinta atau ngomongin cinta. Berat.... biar aku saja. *Dilannn lagi.... Tapi kalau kebutuhan makan sudah terpenuhi, keamanan sudah terjamin, nah... ngomongin cinta jadi enak.
“Dik, Abang udah punya penghasilan; punya rumah. Maukah adik menjadi istri Abang; menemani Abang untuk mengarungi hidup ini?”
“Mau, Bang. Mau banget....”
Beda kalau makan masih susah, boro-boro mikirin nikah, mikirin makan aja udah pusing.
“Dik, maukah Adik menikah dengan Abang?”
“Abang sudah kerja?”
“Belum Dik, Abang baru lulus SMP.”
“Laluuu... kalau ntar menikah, kita mau makan apa?”
“Makan...?” *Garuk-garuk kepala.
Jika kebutuhan di bawah sudah terpenuhi, maka kebutuhan kita akan naik level, begitu terus sampai kita berkutat di tingkat aktualisasi diri. Begitulah kurang lebih gambaran singkat dari “Hierarki Kebutuhan” yang dikonsepkan oleh Abraham H. Maslow.
Namun Bapak Dr. Hendro Setiawan juga menganalisis lebih dalam lagi pemikiran Abraham H. Maslow serta melihat praktiknya di masa sekarang. Dia mendapati bahwa pemikiran Maslow agak sedikit berbeda pelaksanaannya di masa sekarang. Karena ada beberapa hal yang mempengaruhinya, sehingga pengamalannya agak sedikit terganggu.
Inilah yang menjadi topik utama buku ini. Bagaimana sih pelaksanaan “Hierarki Kebutuhan” Maslow di masa sekarang? Sama nggak dengan dulu? Kalau beda, apanya yang beda? Mengapa beda? Jadi bagaimana? Apa solusinya? Dia masih sayang nggak sama aku? Yang terakhir, abaikan saja!
Pertama, kebutuhan fisik.
Di masa Maslow, kebutuhan fisik memang sesuatu yang sangat mendesak, karena pada saat itu lagi masa-masa perang. Makan, minum, pakaian dan kebutuhan fisik lainnya merupakan kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Sementara untuk saat ini, makan dan minum tidak lagi menjadi sesuatu yang begitu sulit, meskipun sebenarnya masih banyak saudara kita yang belum bisa memenuhi kebutuhan fisik, tapi fenomena yang ada juga memperlihatkan bahwa manusia banyak yang terjebak pada kebingungan dalam memilih kebutuhan fisik, saking banyaknya pilihan yang ada.
Apa sebab? Modernitas. Modernitas melahirkan budaya konsumtif. Pasar tumbuh begitu pesat. Di zaman perang, mau makan pilihannya paling cuma satu: roti. Sekarang, mau makan apa aja ada, nasi banyak variasi. Roti, banyak variasi. Bakso, banyak variasi. Mi instan, banyak variasi. Akhirnya apa? kita terjebak hanya pada kebutuhan fisik saja. Level kebutuhannya nggak naik-naik.
Tidak hanya masalah makan, tapi juga kebutuhan-kebutuhan remeh lainnya seperti pakaian, tas, sepatu, perhiasan, gadget, dan masih banyak lainnya, berseliweran muncul di hadapan kita dengan model yang bermacam-macam. Apakah kita tergoda? Ya, seringkali.
Sebagaimana yang dikatakan Dr. Hendro Setiawan (2017: 89), “Sifat kebutuhan fisik yang mendominasi hidup dan ciri kebutuhan fisik pada masa kini menjadi sangat beragam dan tak terbatas, membuat hidup kebanyakan manusia hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan fisik semata”.
Ketika manusia hanya berkutat pada kebutuhan fisiologis semata, maka mereka akan stres. Karena pada hakikatnya manusia itu multidimensi. Ada aspek-aspek yang tidak tersentuh kalau kita hanya berpikir masalah fisik semata. Apa dimensi lain yang tidak tersentuh? Yaitu ruh dan jiwa.
*Udah keren belom kalimatnya?
Kedua, Kebutuhan Rasa Aman
Di masa Maslow, dampak Perang Dunia II mengakibatkan banyak korban jiwa dan banyak pula yang trauma. Pada titik ini, kebutuhan rasa aman sangat dibutuhkan oleh manusia. Bagaimana dengan kebutuhan rasa aman di masa sekarang?
Di masa sekarang, ancamannya mungkin lebih bermacam-macam juga. Perang memang tidak separah pada zaman dulu, tapi masih ada beberapa wilayah yang sampai sekarang masih mengalami konflik dan perang. Kemudian muncul ancaman-ancaman baru, seperti penyakit AIDS, Narkoba, kerusakan alam, pemanasan global, dan sebagainya (Hendro Setiawan, 2017: 109).
Ketiga, Kebutuhan rasa cinta
Menurut Dr. Hendro Setiawan (2017: 127), ada tiga produk dunia modern yang berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan cinta pada masa sekarang ini, “1) perkembangan supremasi hukum di tengah kebebasan manusia; 2) pluralitas manusia; 3) kentalnya kepentingan diri dalam iklim ekonomi kapitalis.”
Mengenai perkembangan supremasi hukum di tengah kebebasan manusia, sederhananya begini: pemerintah membuat berbagai kebijakan termasuk yang ada kaitannya dengan solidaritas ekonomi seperti membantu orang miskin. Dengan campur tangannya pemerintah dalam banyak hal, membuat rakyat biasa lainnya sudah tidak perlu lagi sibuk-sibuk mengurusi tetangganya yang miskin, toh sudah ada bantuan dari pemerintah, sederhannya begitu. Akibatnya: cinta kepada sesama menjadi semakin menyusut, dan lama-lama menghilang.
Selain itu, pluralitas manusia juga berpengaruh. Untuk berhubungan dekat dan menumbuhkan rasa cinta dengan sesama manusia, kita perlu saling memahami (Hendro Setiawan, 2017: 135). Dan di zaman sekarang, di tengah berbagai macam bentuk, jenis, model, watak, suku, dan kepribadian manusia membuat saling memahami ini semakin sulit dilaksanakan. Ini merupakan tantangan. Kalau kita gagal untuk saling memahami dan mengenal antar sesama manusia, maka kebutuhan rasa cinta di level tiga Maslow ini akan sulit dicapai.
Dan terakhir, kepentingan diri, egois dan sifat individualis sangat tinggi di masa sekarang. Menurut Hendro Setiawan (2017: 135), “sistem kapitalisme global punya dampak negatif berupa kecenderungan mereduksi manusia menjadi manusia ekonomi yang mengejar kepentingan diri.” Artinya apa? perekonomian saat ini, persaingan pasar saat ini, itu terkadang menjadikan manusia lebih mementingkan dirinya daripada orang lain. Pokoknya gimana caranya bisa dapat untung banyak, bodo amat sama orang lain. Atau saking sibuknya ngurusin bisnis, jadi lupa sama tetangga, teman, keluarga dan sebagainya. Akibatnya: relasi dengan manusia jadi berkurang. Kalaupun berhubungan dengan manusia lain, bukan dalam rangka menjalin cinta, tapi menjalin ikatan bisnis agar bisa dapat keuntungan.
Keempat, Kebutuhan Penghargaan Diri
Menurut Maslow, dalam diri manusia (normal) ada keinginan dan kebutuhan untuk dihargai, baik oleh dirinya maupun oleh orang lain (Hendro Setiawan, 2017: 149-150). Di masa Maslow, setelah Perang Dunia II, tentu saja kebutuhan ini sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan diri serta semangat para korban perang. Lalu bagaimana dengan sekarang?
Lagi-lagi, modernitas memberi arah yang menyimpang dalam kebutuhan akan penghargaan diri ini. Menurut Dr. Hendro Setiawan (2017: 153-154), ada beberapa faktor yang berasal dari modernitas, yang itu berpengaruh pada kebutuhan penghargaan diri di masa sekarang ini, yaitu: “budaya konsumtif, kompetisi yang ketat, fluktuasi ekonomi, pluralisme masyarakat, iklim demokrasi, dll”.
Saya melihat, dari beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, menurut saya yang cukup kuat dalam menggeser makna kebutuhan penghargaan diri adalah budaya konsumtif. Dewasa ini, kita terjebak pada budaya konsumtif yang luar biasa. Akibatnya: kita perlu dihargai bukan karena perilaku, kepribadian atau akhlak kita, melainkan karena barang atau materi yang kita punya. Pokoknya kalau makannya belum di kafe ternama, rasanya kita belum mendapatkan penghargaan dari kawan-kawan. Pokoknya kalau belum punya gadget mahal, rasanya belum dapat penghargaan dari para kolega. Pokoknya kalau belum nikah, dapat istri cantik atau suami tampan, punya rumah, dan pekerjaan, rasanya belum dihargai sebagai seorang manusia. Semuanya berputar dalam ranah materi. Masalahnya, bagaimana kalau kita tidak mampu mencapai barang-barang tersebut?
Kelima, aktualisasi diri
Di masa Maslow, kebutuhan untuk aktualisasi diri sangat berguna dan membawa perubahan yang besar dalam kehidupan masyarakat pasca perang. Namun, aktualisi diri di masa sekarang malah semakin tidak terarah, aktualisasi diri malah melahirkan generasi yang egois dan berpusat pada individu manusia itu sendiri. Saking fokusnya aktualisasi diri, fokus mengerahkan segala potensi diri, akhirnya lupa sama orang di sebelah.
Jadi, Bagaimana Solusinya?
Sebelum kita masuk pada solusi yang ditawarkan oleh Dr. Hendro Setiawan, sepertinya kita harus mengetahui satu hal penting dalam pemikiran Abraham Maslow. Gagasan Maslow berada pada posisi alamiah. Artinya: ada aspek-aspek yang tidak tersentuh oleh gagasan Maslow mengenai hierarki kebutuhan. Apa itu? Supranatural.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Maslow, “penjelasan yang berasal dari sesuatu yang alami adalah lebih mudah dan memuaskan untuk orang-orang berpendidikan daripada penjelasan yang sifatnya supranatural (Hendro Setiawan, 2017: 206).
Nah... di sinilah celah yang masih harus ditambal dalam pemikiran Maslow. Hierarki kebutuhan Maslow masih belum dilengkapi dengan nilai-nilai religius yang ada. Makanya setiap tingkatan dari hierarki kebutuhan Maslow itu hampa dan cenderung berbahaya. Sebagaimana yang sudah kita lihat sebelumnya, karena tidak ada nilai dan semangat spritual di tingkatan kebutuhan fisik, maka manusia cenderung menafsirkan bahwa makan dan minum aja sepuasnya, konsumsi terus, belanja terus, tanpa dikontrol oleh nilai-nilai agama. Begitu juga di tingkatan setelahnya, seperti kebutuhan akan rasa aman, cinta, penghargaan diri dan aktualiasi diri.
Seandainya saja ada nilai yang mengiringi, maka kita tidak terobsesi untuk untung sendiri, tidak terobsesi dengan materi semata, kita tidak memandang bahwa saya baru dihargai kalau saya punya gadget keren, tidak. Ada nilai, ada sesuatu yang lebih tinggi yang kita junjung dalam setiap hierarki kebutuhan Maslow. Paling tidak, proses kita untuk menuju aktualisasi diri menjadi lebih terkontrol dengan nilai-nilai yang ada, tidak membeludak sebebas-bebasnya.
Oleh karena itu, menurut Dr. Hendri Setiawan (2017: 208), “konsep psikologi Maslow yang menekankan pemenuhan kebutuhan sesuai hierarki kebutuhan sebagai langkah menuju puncak kesehatan psikologis, bukan hanya tidak bertentangan tetapi justru dilengkapi dan disempurnakan oleh penghayatan agama yang benar dan mendalam”.
Dr. Hendro Setiawan juga menjelaskan mengenai nilai-nilai apa saja yang bisa kita gunakan untuk menyeimbangkan gagasan “aktualisasi diri” Maslow. Bagaimana penjelasannya? Silahkan baca bukunya! HAHAHA.....
Sekian.
(Entah kenapa? Di akhir-akhir tulisan ini saya jadi lebih serius)
Share: