Selasa, 24 Mei 2016

SIAPA YANG SALAH? (CERPEN FIKSI)


          Matahari sudah mulai turun dari peraduannya. Panas tak lagi menyengat. Angin semilir di sore hari berhembus membelai dedaunan dan rumput-rumput yang sudah memanjang. Seorang kakek tua terlihat sibuk mencabuti rumput liar. Tangannya yang sudah lemah dengan kulit yang sudah kendur berusaha sekuat tenaga menarik paksa rumput liar yang masih ingin menikmati kehidupan. Sesekali kakek harus membetulkan kerah bajunya yang kedodoran.

          Halaman yang ia bersihkan itu bukan halaman rumahnya, karena memang kakek itu tidak punya rumah. Bangunan sederhana yang ada di sampingnya itu adalah sebuah surau. Usia surau itu sudah cukup tua, mungkin seusia kakek itu. Surau itu tidak ditopang oleh tiang beton seperti masjid agung di pusat kota. Surau itu hanya ditopang oleh kayu-kayu yang sekarang sudah terlihat lapuk dimakan rayap dan di beberapa bagian dihinggapi kumbang yang ingin membuat sarang. 

          Kakek itu adalah penunggu surau itu. Dia tinggal di salah satu ruangan kosong di samping tempat imam. Dulu ia adalah seorang guru ngaji. Aku adalah salah satu muridnya. Aku takkan pernah melupakan nama kakek itu. Namanya Sobri, Wak Sobri kami memanggilnya.


                                                                        ***

          Sekitar usia tujuh tahun, aku sudah disuruh oleh ayah untuk belajar mengaji dengan Wak Sobri. Setiap jam lima sore, aku sudah siap dengan Al-Qur’an dan sebatang lidi pendek yang kumasukkan dalam kantong kresek hitam. Jika jam lima aku belum berangkat ke surau, ayah akan menjewer telingaku atau kalau lagi baik, ayah hanya memarahiku dengan suaranya yang garang, “Cepat turun!, usah betele-tele!”, bentaknya.



          Sesampainya di surau, aku langsung mengambil posisi duduk. Mengeluarkan Al-Qur’an dan lidi dari kantong kresek hitam, membuka bacaan yang kemarin dan mengulang-ngulang untuk bacaan hari ini. Kulihat wak Sobri masih mengajari anak-anak yang lain. Gaya mengajar wak Sobri sangat menakutkan sekali. Suaranya parau seperti burung gagak. Jika aku dan kawan-kawan salah dalam melafalkan huruf atau kurang tepat dalam tajwid, maka sepotong kayu sebesar jempol kaki bisa mendarat ke paha kami. Akibatnya, paha kami membentuk garis merah membujur sebesar potongan kayu dan pedas rasanya. Aku dan kawan-kawan sering menyembunyikan kayu yang digunakan untuk memukul itu. Ternyata keusilan kami malah mendatangkan bencana besar. Wak Sobri malah menggunakan pemukul beduk sebagai gantinya. Tak jarang pemukul beduk itu menghantam tempurung lutut kami. Sakitnya melebihi dari hantaman potongan kayu yang kami sembunyikan. Setelah itu, kami tak pernah lagi menyembunyikan potongan kayu khusus itu. Kami sempat ingin menyembunyikan pemukul beduk sekaligus kayu khusus untuk memukul. Tapi kami takut kalau ia malah menjadikan beduk untuk menghantam tubuh kami yang masih kecil dan ingusan ini.

          Selain hantaman dengan kayu, ia juga sering membentak jika kami salah. Bentakannya nyaring dan keras sehingga cipratan air liurnya menembak tepat di kening kami. Jika ada lafaz yang tidak sesuai dengan kaidahnya, maka dahinya mulai mengernyit, kayu ditangannya bersiap untuk diayunkan, dan mulutnya bersedia untuk membentak untuk membetulkan. Walaupun begitu, aku dan kawan-kawan tak pernah melapor kepada orang tua mengenai kekerasan Wak Sobri dalam mengajarkan kami membaca Al-Qur’an. Jikapun kami melapor, orang tua malah memarahi kami karena kami bebal sekali dalam mengaji. Susah diajar katanya.


                                                                        ***

          Saat usiaku sekarang sudah 24 tahun, Wak Sobri sudah tidak lagi mengajar ngaji. Sekitar tiga tahun yang lalu dia tidak lagi mengajar ngaji. Tugasnya hanya menjadi azan sekaligus imam sholat lima waktu. Sesekali ia membersihkan halaman surau dan menanam singkong di tepi paritnya. 

          Hari ini aku datang mengunjunginya, membawa dua kilo beras, satu kilo gula, dua bungkus garam dan dua ons kopi. Setidaknya ini bisa menjadi balas budiku untuknya.
          “Assalamu’alaikum Wak”, aku mengucapkan salam.

          Kepalanya menoleh tapi tetap jongkok dengan tangan yang masih memegang rumput yang belum selesai dicabut dari tanah. Matanya yang tajam itu memandangku dengan tatapan serius. Tangannya yang lain memegang dan membetulkan peci putih seputih uban di kepalanya. 

          “Waalaikum salam”, jawabnya dengan suara pelan namun cepat dan tegas seolah tak ikhlas. Dengan mantap ia melemparkan kalimat pembuka yang begitu menyakitkan, “Ada apa kau datang kemari?”, katanya.

          “Ini Wak, ada sedikit beras dan kopi untuk Uwak”, tawarku dengan agak segan.

          “Aku tidak butuh pemberianmu” bantahnya keras. Ia langsung melanjutkan pekerjaannya yang terganggu, mencabut rumput yang masih berbaris rapat menutupi tanah.

          “Aku minta maaf Wak”.

          “Kau tak perlu minta maaf. Kau tak salah”.

          “Kalau begitu terimalah ini wak”, pintaku.

          “Aku tidak perlu pemberianmu. Aku mampu memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Kalau masalah makan, aku masih punya banyak singkong di tepi parit itu”, jawabnya sambil tetap mencabut rumput.


                                                                        ***

Wak Sobri memang seorang guru ngaji yang terkenal garang. Tapi sifat itu hanya muncul ketika ia sedang mengajari kami mengaji. Jika tidak sedang mengajar ngaji, ia bersikap ramah dan baik kepada murid-muridnya. Ia sering mengajak kami menebas rumput di halaman surau dan menanaminya dengan singkong. Sebagai imbalannya, ia sering memasak pisang goreng dan menghidangkannya bersama air kopi. Sekitar belasan murid ngaji wak Sobri itu melahap panganan dengan sangat bersemangat. Aku sering melihat Wak Sobri tersenyum lepas ketika melihat kami berebut pisang goreng dan gelas untuk minum kopi. Terkadang Wak Sobri mengelus-ngelus kepala kami, menandakan kecintaanya kepada kami. 

Aku tak pernah melihat keluarga Wak Sobri. Ia hanya tinggal sendiri, tak punya istri tak punya anak. Padahal seusianya, ia harusnya sudah punya cucu, satu paling tidak. Mungkin karena itulah, ia selalu menganggap kami sebagai anaknya. Bahkan ketika hari libur, kami sering diajak untuk tidur di surau. Hal yang paling kami tunggu ketika tidur di surau adalah mendengarkan Wak Sobri berkisah tentang para Nabi dan Rasul. Aku paling suka kalau ia menceritakan kisah Nabi Sulaiman, Nabi yang menjadi raja sekaligus memiliki istana yang megah dan bala tentara yang banyak. Dari situlah aku terobsesi untuk jadi orang kaya atau paling tidak pengusaha jika sudah besar nanti.

Murid-murid Wak Sobri tidak selalu kami saja. Selalu ada generasi baru. Kami berhenti mengaji dengan Wak Sobri ketika berada di bangku SMP. Karena di SMP dan SMA sudah disediakan waktu tambahan untuk belajar agama sekaligus mengaji. Jadi murid-murid Wak Sobri adalah anak-anak Sekolah Dasar yang di sekolahnya tidak diajari mengaji. Setiap generasi biasanya hanya sekitar belasan anak. Untuk menjaga semangat mereka agar terus mau belajar mengaji,  Wak Sobri sering melakukan apa yang ia lakukan kepada kami; membersihkan halaman surau bersama dan mengajak tidur di surau jika hari libur sambil menceritakan kisah Nabi dan Rasul.


                                                                        ***

          Seiring berjalannya waktu, murid-murid Wak Sobri semakin berkurang. Sampai suatu ketika tidak ada lagi anak-anak yang mengaji dengannya. Jangankan mengaji, pergi ke surau untuk sholat maghrib saja tidak pernah lagi. Wak Sobri menjadi heran. Untuk mengobati rasa penasarannya, ia berjalan-jalan melihat kampungnya pada sore hari. Badan yang sudah tak tegap itu terus berjalan dengan satu pertanyaan yang tertancap di kepalanya, “Kemana anak-anak ini pergi?”.
 
          Sesampainya di satu ruko yang lumayan besar, ia menghentikan langkah kakinya. Telinganya masih begitu berfungsi, ia mendengar suara anak-anak di dalam ruko tersebut. Kepalanya memanjang seperti kura-kura, melihat dengan agak malu-malu. Ketika ia melihat ke dalam ruko, ia menyaksikan anak-anak sedang serius menatap layar televisi dengan memegang sesuatu ditangan mereka. Di bagian lain ia melihat anak-anak yang juga menatap layar, tapi bukan layar televisi, bentuknya lebih kecil dari televisi. Anak-anak yang menatap layar yang bukan layar televisi itu menggerakkan benda kecil di tangan kanannya. Hampir sebagian besar anak-anak di dalam ruko itu adalah murid-muridnya yang sudah sekitar satu minggu tidak datang ke surau untuk mengaji dengannya. “Rupanya tempat ini yang membuat murid-muridku tak pernah lagi pergi ke surau”, pikirnya.

          Selain itu ia memandang seseorang anak muda tengah duduk di satu tempat khusus dengan layar yang sama di depannya. Ia seperti mengenal anak muda itu. Ketika ia tahu persis siapa anak muda itu, ia tidak menyapanya, apalagi mengajaknya ngobrol barang sebentar, berbicara tentang kabar atau semacamnya. Wak Sobri malah bergegas pulang meninggalkan ruko itu. Anak muda yang mengetahui kedatangan wak Sobri segera keluar dari rukonya, namun tidak berniat untuk memanggil Wak Sobri.

          Dengan perasaan yang sedih seperti bapak yang kehilangan anak, Wak Sobri berjalan dengan langkah yang agak cepat  untuk pulang ke surau. Matanya sudah berair, hatinya ngilu, dan harapannya untuk bertemu dan menyaksikan anak muridnya di surau sudah tidak ada lagi. Tidak akan ada lagi yang diajarinya mengaji, tidak ada lagi yang bisa diajak untuk membersihkan halaman surau, tidak ada lagi yang bisa diajak bermalam di surau dan mendengarkan cerita Nabi dan Rasul dan yang pasti tidak akan ada lagi anak-anak yang bisa menghibur kesendiriannya.

          Sejak itulah ia berhenti menjadi guru ngaji. Bukan karena usia yang sudah tua, bukan karena surau yang tidak lagi enak untuk dijadikan tempat berkumpul anak-anak, bukan karena semakin garangnya Wak Sobri dalam mendidik murid-muridnya. Ia tidak lagi mengajar ngaji karena anak-anak sudah tidak lagi mendatanginya. Ia sudah tidak lagi mengajar ngaji karena semakin majunya zaman dan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga ruko yang lumayan besar tadi menciptakan ruang dan kegiatan khusus bagi anak-anak; termasuk murid-murid wak Sobri. Layar televisi yang dilihat wak Sobri adalah playstation, sementara layar yang agak kecil adalah komputer dengan fasilitas internet. Anak-anak begitu menikmati fasilitas berbayar itu. Mereka sudah standby di depan layar sejak pulang sekolah. Tak jarang mereka harus antri untuk bermain bahkan dengan seragam sekolah yang masih membalut tubuh mereka; seragam merah putih.

                                                                        ***

Sore itu, ketika Wak Sobri  menolak pemberianku, aku langsung pulang. Aku masih pulang dengan keadaan semula; membawa beras, gula, garam dan kopi. Aku sudah sering mendatangi Wak Sobri, namun responnya selalu begitu; tidak menerima kedatanganku dan  menolak pemberianku. 

Aku adalah satu-satunya orang yang selalu paham dengan keadaan Wak Sobri. Kehilangan murid-murid baginya bagaikan kehilangan anak. Dulu ia tak pernah kesepian. Tapi sekarang ia harus merasakan penyakit mematikan itu; kesepian. Entah siapa yang salah?, aku tak tau.

Akhirnya aku pulang kembali ke tempat usahaku. Aku sekarang sudah punya usaha seperti apa yang aku cita-citakan dulu. Sebuah cita-cita yang lahir dari mulut Wak Sobri; yaitu lahir dari kisah Nabi Sulaiman yang sering aku dengar darinya. Karena itulah, aku sering mendatangi Wak Sobri untuk membalas jasanya. Tapi aku juga merasa bersalah karena usaha ini. Lagi-lagi aku tak tau, siapa yang salah?

Aku pun sampai di tempat usahaku; ruko yang lumayan besar dengan tulisan besar di atasnya; PLAYSTATION DAN WARNET.
Share: