Matahari
sudah mulai turun dari peraduannya. Panas tak lagi menyengat. Angin semilir di
sore hari berhembus membelai dedaunan dan rumput-rumput yang sudah memanjang.
Seorang kakek tua terlihat sibuk mencabuti rumput liar. Tangannya yang sudah
lemah dengan kulit yang sudah kendur berusaha sekuat tenaga menarik paksa
rumput liar yang masih ingin menikmati kehidupan. Sesekali kakek harus
membetulkan kerah bajunya yang kedodoran.
Halaman
yang ia bersihkan itu bukan halaman rumahnya, karena memang kakek itu tidak
punya rumah. Bangunan sederhana yang ada di sampingnya itu adalah sebuah surau.
Usia surau itu sudah cukup tua, mungkin seusia kakek itu. Surau itu tidak
ditopang oleh tiang beton seperti masjid agung di pusat kota. Surau itu hanya
ditopang oleh kayu-kayu yang sekarang sudah terlihat lapuk dimakan rayap dan di
beberapa bagian dihinggapi kumbang yang ingin membuat sarang.
Kakek
itu adalah penunggu surau itu. Dia tinggal di salah satu ruangan kosong di samping
tempat imam. Dulu ia adalah seorang guru ngaji. Aku adalah salah satu muridnya.
Aku takkan pernah melupakan nama kakek itu. Namanya Sobri, Wak Sobri kami
memanggilnya.
***
Sekitar
usia tujuh tahun, aku sudah disuruh oleh ayah untuk belajar mengaji dengan Wak
Sobri. Setiap jam lima sore, aku sudah siap dengan Al-Qur’an dan sebatang lidi
pendek yang kumasukkan dalam kantong kresek hitam. Jika jam lima aku belum
berangkat ke surau, ayah akan menjewer telingaku atau kalau lagi baik, ayah
hanya memarahiku dengan suaranya yang garang, “Cepat turun!, usah betele-tele!”,
bentaknya.
Sesampainya
di surau, aku langsung mengambil posisi duduk. Mengeluarkan Al-Qur’an dan lidi
dari kantong kresek hitam, membuka bacaan yang kemarin dan mengulang-ngulang untuk
bacaan hari ini. Kulihat wak Sobri masih mengajari anak-anak yang lain. Gaya mengajar
wak Sobri sangat menakutkan sekali. Suaranya parau seperti burung gagak. Jika
aku dan kawan-kawan salah dalam melafalkan huruf atau kurang tepat dalam
tajwid, maka sepotong kayu sebesar jempol kaki bisa mendarat ke paha kami. Akibatnya,
paha kami membentuk garis merah membujur sebesar potongan kayu dan pedas
rasanya. Aku dan kawan-kawan sering menyembunyikan kayu yang digunakan untuk
memukul itu. Ternyata keusilan kami malah mendatangkan bencana besar. Wak Sobri
malah menggunakan pemukul beduk sebagai gantinya. Tak jarang pemukul beduk itu
menghantam tempurung lutut kami. Sakitnya melebihi dari hantaman potongan kayu
yang kami sembunyikan. Setelah itu, kami tak pernah lagi menyembunyikan
potongan kayu khusus itu. Kami sempat ingin menyembunyikan pemukul beduk sekaligus
kayu khusus untuk memukul. Tapi kami takut kalau ia malah menjadikan beduk
untuk menghantam tubuh kami yang masih kecil dan ingusan ini.
Selain
hantaman dengan kayu, ia juga sering membentak jika kami salah. Bentakannya
nyaring dan keras sehingga cipratan air liurnya menembak tepat di kening kami.
Jika ada lafaz yang tidak sesuai dengan kaidahnya, maka dahinya mulai mengernyit,
kayu ditangannya bersiap untuk diayunkan, dan mulutnya bersedia untuk membentak
untuk membetulkan. Walaupun begitu, aku dan kawan-kawan tak pernah melapor
kepada orang tua mengenai kekerasan Wak Sobri dalam mengajarkan kami membaca
Al-Qur’an. Jikapun kami melapor, orang tua malah memarahi kami karena kami bebal
sekali dalam mengaji. Susah diajar katanya.
***
Saat
usiaku sekarang sudah 24 tahun, Wak Sobri sudah tidak lagi mengajar ngaji. Sekitar
tiga tahun yang lalu dia tidak lagi mengajar ngaji. Tugasnya hanya menjadi azan
sekaligus imam sholat lima waktu. Sesekali ia membersihkan halaman surau dan
menanam singkong di tepi paritnya.
Hari
ini aku datang mengunjunginya, membawa dua kilo beras, satu kilo gula, dua
bungkus garam dan dua ons kopi. Setidaknya ini bisa menjadi balas budiku untuknya.
“Assalamu’alaikum
Wak”, aku mengucapkan salam.
Kepalanya
menoleh tapi tetap jongkok dengan tangan yang masih memegang rumput yang belum
selesai dicabut dari tanah. Matanya yang tajam itu memandangku dengan tatapan
serius. Tangannya yang lain memegang dan membetulkan peci putih seputih uban di
kepalanya.
“Waalaikum
salam”, jawabnya dengan suara pelan namun cepat dan tegas seolah tak ikhlas. Dengan
mantap ia melemparkan kalimat pembuka yang begitu menyakitkan, “Ada apa kau
datang kemari?”, katanya.
“Ini
Wak, ada sedikit beras dan kopi untuk Uwak”, tawarku dengan agak segan.
“Aku
tidak butuh pemberianmu” bantahnya keras. Ia langsung melanjutkan pekerjaannya yang
terganggu, mencabut rumput yang masih berbaris rapat menutupi tanah.
“Aku
minta maaf Wak”.
“Kau
tak perlu minta maaf. Kau tak salah”.
“Kalau
begitu terimalah ini wak”, pintaku.
“Aku
tidak perlu pemberianmu. Aku mampu memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Kalau
masalah makan, aku masih punya banyak singkong di tepi parit itu”, jawabnya
sambil tetap mencabut rumput.
***
Wak Sobri memang seorang guru ngaji yang
terkenal garang. Tapi sifat itu hanya muncul ketika ia sedang mengajari kami mengaji.
Jika tidak sedang mengajar ngaji, ia bersikap ramah dan baik kepada
murid-muridnya. Ia sering mengajak kami menebas rumput di halaman surau dan
menanaminya dengan singkong. Sebagai imbalannya, ia sering memasak pisang
goreng dan menghidangkannya bersama air kopi. Sekitar belasan murid ngaji wak
Sobri itu melahap panganan dengan sangat bersemangat. Aku sering melihat Wak
Sobri tersenyum lepas ketika melihat kami berebut pisang goreng dan gelas untuk
minum kopi. Terkadang Wak Sobri mengelus-ngelus kepala kami, menandakan
kecintaanya kepada kami.
Aku tak pernah melihat keluarga Wak Sobri. Ia
hanya tinggal sendiri, tak punya istri tak punya anak. Padahal seusianya, ia
harusnya sudah punya cucu, satu paling tidak. Mungkin karena itulah, ia selalu
menganggap kami sebagai anaknya. Bahkan ketika hari libur, kami sering diajak
untuk tidur di surau. Hal yang paling kami tunggu ketika tidur di surau adalah
mendengarkan Wak Sobri berkisah tentang para Nabi dan Rasul. Aku paling suka
kalau ia menceritakan kisah Nabi Sulaiman, Nabi yang menjadi raja sekaligus
memiliki istana yang megah dan bala tentara yang banyak. Dari situlah aku terobsesi
untuk jadi orang kaya atau paling tidak pengusaha jika sudah besar nanti.
Murid-murid Wak Sobri tidak selalu kami saja. Selalu
ada generasi baru. Kami berhenti mengaji dengan Wak Sobri ketika berada di bangku
SMP. Karena di SMP dan SMA sudah disediakan waktu tambahan untuk belajar agama
sekaligus mengaji. Jadi murid-murid Wak Sobri adalah anak-anak Sekolah Dasar
yang di sekolahnya tidak diajari mengaji. Setiap generasi biasanya hanya
sekitar belasan anak. Untuk menjaga semangat mereka agar terus mau belajar
mengaji, Wak Sobri sering melakukan apa
yang ia lakukan kepada kami; membersihkan halaman surau bersama dan mengajak
tidur di surau jika hari libur sambil menceritakan kisah Nabi dan Rasul.
***
Seiring
berjalannya waktu, murid-murid Wak Sobri semakin berkurang. Sampai suatu ketika
tidak ada lagi anak-anak yang mengaji dengannya. Jangankan mengaji, pergi ke
surau untuk sholat maghrib saja tidak pernah lagi. Wak Sobri menjadi heran.
Untuk mengobati rasa penasarannya, ia berjalan-jalan melihat kampungnya pada
sore hari. Badan yang sudah tak tegap itu terus berjalan dengan satu pertanyaan
yang tertancap di kepalanya, “Kemana anak-anak ini pergi?”.
Sesampainya
di satu ruko yang lumayan besar, ia menghentikan langkah kakinya. Telinganya
masih begitu berfungsi, ia mendengar suara anak-anak di dalam ruko tersebut. Kepalanya
memanjang seperti kura-kura, melihat dengan agak malu-malu. Ketika ia melihat
ke dalam ruko, ia menyaksikan anak-anak sedang serius menatap layar televisi
dengan memegang sesuatu ditangan mereka. Di bagian lain ia melihat anak-anak
yang juga menatap layar, tapi bukan layar televisi, bentuknya lebih kecil dari
televisi. Anak-anak yang menatap layar yang bukan layar televisi itu
menggerakkan benda kecil di tangan kanannya. Hampir sebagian besar anak-anak di
dalam ruko itu adalah murid-muridnya yang sudah sekitar satu minggu tidak datang
ke surau untuk mengaji dengannya. “Rupanya tempat ini yang membuat murid-muridku
tak pernah lagi pergi ke surau”, pikirnya.
Selain
itu ia memandang seseorang anak muda tengah duduk di satu tempat khusus dengan
layar yang sama di depannya. Ia seperti mengenal anak muda itu. Ketika ia tahu persis
siapa anak muda itu, ia tidak menyapanya, apalagi mengajaknya ngobrol barang
sebentar, berbicara tentang kabar atau semacamnya. Wak Sobri malah bergegas
pulang meninggalkan ruko itu. Anak muda yang mengetahui kedatangan wak Sobri
segera keluar dari rukonya, namun tidak berniat untuk memanggil Wak Sobri.
Dengan
perasaan yang sedih seperti bapak yang kehilangan anak, Wak Sobri berjalan
dengan langkah yang agak cepat untuk
pulang ke surau. Matanya sudah berair, hatinya ngilu, dan harapannya untuk
bertemu dan menyaksikan anak muridnya di surau sudah tidak ada lagi. Tidak akan
ada lagi yang diajarinya mengaji, tidak ada lagi yang bisa diajak untuk
membersihkan halaman surau, tidak ada lagi yang bisa diajak bermalam di surau
dan mendengarkan cerita Nabi dan Rasul dan yang pasti tidak akan ada lagi
anak-anak yang bisa menghibur kesendiriannya.
Sejak
itulah ia berhenti menjadi guru ngaji. Bukan karena usia yang sudah tua, bukan
karena surau yang tidak lagi enak untuk dijadikan tempat berkumpul anak-anak,
bukan karena semakin garangnya Wak Sobri dalam mendidik murid-muridnya. Ia
tidak lagi mengajar ngaji karena anak-anak sudah tidak lagi mendatanginya. Ia
sudah tidak lagi mengajar ngaji karena semakin majunya zaman dan pesatnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga ruko yang lumayan
besar tadi menciptakan ruang dan kegiatan khusus bagi anak-anak; termasuk
murid-murid wak Sobri. Layar televisi yang dilihat wak Sobri adalah playstation,
sementara layar yang agak kecil adalah komputer dengan fasilitas internet.
Anak-anak begitu menikmati fasilitas berbayar itu. Mereka sudah standby
di depan layar sejak pulang sekolah. Tak jarang mereka harus antri untuk
bermain bahkan dengan seragam sekolah yang masih membalut tubuh mereka; seragam
merah putih.
***
Sore itu, ketika Wak Sobri menolak pemberianku, aku langsung pulang. Aku
masih pulang dengan keadaan semula; membawa beras, gula, garam dan kopi. Aku
sudah sering mendatangi Wak Sobri, namun responnya selalu begitu; tidak menerima
kedatanganku dan menolak pemberianku.
Aku adalah satu-satunya orang yang selalu paham
dengan keadaan Wak Sobri. Kehilangan murid-murid baginya bagaikan kehilangan
anak. Dulu ia tak pernah kesepian. Tapi sekarang ia harus merasakan penyakit
mematikan itu; kesepian. Entah siapa yang salah?, aku tak tau.
Akhirnya aku pulang kembali ke tempat usahaku.
Aku sekarang sudah punya usaha seperti apa yang aku cita-citakan dulu. Sebuah
cita-cita yang lahir dari mulut Wak Sobri; yaitu lahir dari kisah Nabi Sulaiman
yang sering aku dengar darinya. Karena itulah, aku sering mendatangi Wak Sobri
untuk membalas jasanya. Tapi aku juga merasa bersalah karena usaha ini. Lagi-lagi
aku tak tau, siapa yang salah?
Aku pun sampai di tempat usahaku; ruko yang
lumayan besar dengan tulisan besar di atasnya; PLAYSTATION DAN WARNET.