Dulu, saat menjelang akhir studi S1, saya
dan beberapa teman sering melempar tanggapan bernada sinis terhadap mereka yang
lebih dulu mendapatkan pekerjaan. Di balik itu semua, mungkin ada perasaan iri
yang bersarang di dalam hati. Maklumlah, mendapatkan pekerjaan yang layak tidak
semudah menyusun skripsi, artinya lebih sulit lagi dari sekedar minta tanda
tangan dosen pembimbing dan dosen penguji.
Mengerikan memang, membayangkan ada
banyak orang yang tidak suka dengan kebahagiaan yang kita dapatkan, tapi saya
yakin hampir semua orang merasakan hal demikian. Hal baik atau kebahagiaan yang
hinggap pada seseorang belum tentu baik untuk orang lain. Begitupula
sebaliknya, hal buruk yang menimpa seseorang belum tentu buruk untuk orang
lain. Bisa jadi ada yang tertawa dengan penuh suka cita di atas penderitaan
orang lain.
Bahkan saat senyum dan ucapan selamat
terlempar dari mulut seseorang, belum tentu itu tulus dari dalam hati yang
terdalam. Bisa jadi itu hanya ritual formal untuk menutupi kebusukan yang
bersarang di dalam dada.
Di era sekarang, dimana persebaran informasi
begitu luar biasa cepatnya, turut membuat perasaan iri dan dengki menular cepat
bak penyakit cacar. Hal itu dikarenakan berita gembira atau kebahagiaan yang
didapatkan oleh seseorang hampir bisa dikatakan pasti akan tersiar melalui
media sosial. Seperti yang saya katakan tadi, meskipun ucapan selamat di kolom
komentar atau simbol jempol (like) menempel di status media sosial anda, bisa jadi
itu hanya sekedar formalitas belaka.
Fenomena ini sudah dikisahkan oleh John
Steinbeck kira-kira lebih dari setengah abad lalu lewat novellanya yang
berjudul The Pearl (“Mutiara” dalam edisi terjemahan). Novella ini
berkisah tentang seseorang keluarga miskin yang begitu terpinggirkan, namun
pada suatu hari mendapatkan keberuntungan. Keluarga ini, lebih tepatnya sang
suami bernama Kino mendapatkan mutiara berukuran besar, indah dan berbeda dari
mutiara-mutiara lainnya.
John Steinbeck mengisahkan bahwa kampung
tempat tinggal Kino dan keluarga memiliki semacam budaya yang mana informasi
heboh akan menyebar dengan begitu cepat. Ia tidak mengatakan lewat perantara
apa informasi itu menyebar, yang jelas bukan internet. Berita mengenai mutiara
yang ditemukan oleh Kino merupakan salah satu berita penting, sehingga berita
ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru daerah. Para pengemis, pendeta,
dokter, dan tak lupa juga pembeli mutiara melonjak kaget. Mereka membuat
berbagai macam strategi licik untuk mendapatkan mutiara yang dimiliki oleh
Kino. Semenjak itulah, mutiara yang Kino dan keluarganya anggap sebagai
keberuntungan, dan satu-satunya aset berharga untuk masa depan, berubah menjadi
sumber bencana yang begitu mengerikan.
Pendeta yang sebelumnya tidak pernah
menghiraukan Kino dan keluarganya segera datang mengunjungi Kino. Ia berpesan
agar Kino dan keluarganya segera melakukan ibadah ritual yang belum mereka
tunaikan, seperti pernikahan di gereja dan pembaptisan sang anak. Dokter yang
awalnya menolak anak Kino untuk berobat di tempatnya juga tidak mau ketinggalan
untuk menawarkan kembali pengobatan. Niat sang dokter tentu saja agar Kino
bersedia berbagi hasil dari keuntungan penjualan mutiara itu kepadanya. Pembeli
mutiara di pasar turut mencoba peruntungan dengan mengatur strategi agar mereka
bisa mendapatkan mutiara Kino dengan harga yang semurah mungkin, tujuannya
tidak lain dan tidak bukan agar mereka bisa menjual kembali mutiara itu dengan
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Merasa ditipu oleh banyak pihak, Kino
akhirnya mengurungkan niatnya untuk menjual mutiara itu di wilayahnya. Ia
bertekad untuk keluar dari kampung halamannya dan menjualnya di perkotaan.
Namun mutiara itu belum berhenti menyeretnya ke dalam pusaran masalah. Ia
sempat dihajar oleh orang tidak dikenal, perahunya dirusak, rumahnya dibakar,
dan yang paling menyakitkan: anak satu-satunya yang ia miliki terbunuh dalam
perjalanan untuk mengamankan mutiara sialan itu. Ujung cerita, mutiara itu
akhirnya ia lempar kembali ke laut karena ia menganggap itu adalah sumber
bencana.
John Steinbeck adalah salah satu novelis
luar negeri favorit saya. Bahkan untuk saat ini saya menempatkannya pada
peringkat pertama. Saya pertama kali jatuh cinta pada tulisannya ketika membaca
Of Mice and Men dan Dataran Tortilla. Yang membuat saya jatuh hati
adalah tokoh-tokohnya yang gemar mabuk-mabukkan, sehingga mereka seringkali
memecahkan masalah dengan begitu konyol. Entah mengapa, novel dengan
tokoh-tokoh seperti itu selalu saya senangi, sama seperti kumcernya Anton
Chekov yang berjudul Pengakuan atau kumcernya Dea Anugrah yang berjudul Bakat
Menggonggong.
Awalnya saya sempat kesal, karena novella
berjudul The Pearl ini sama sekali berbeda dengan dua judul favorit saya
sebelumnya. Tidak ada aroma arak dan anggur di sepanjang cerita. Tokohnya
menyelesaikan konflik dengan begitu waras, tidak dengan mabuk-mabukkan.
Meskipun amarah Kino seringkali meledak-meledak di penghujung cerita. Namun
semuanya ia selesaikan dengan begitu jantan, tidak dengan cara yang absurd
serta mengundang gelak tawa. Berbeda dengan tokoh-tokoh di Dataran Tortilla
yang selalu menyelesaikan masalah dengan senyawa anggur yang masih melekat di
kepala.
Kembali lagi ke inti cerita The Pearl.
Iri dan dengki seringkali muncul dari kebahagiaan yang dimiliki oleh seseorang.
Kebahagiaan itu barangkali tidak mendatangkan iri dengki jika orang-orang di
sekitarnya tidak mendapatkan informasi mengenai kebahagiaan yang didapatkan
oleh orang lain. Seperti yang dikisahkan oleh John Steinbeck dalam The Pearl,
masyarakat dalam cerita yang ia tulis begitu cepat menyebarkan informasi,
sehingga siapa saja dapat mengetahui info-info terkini, termasuklah informasi
mengenai Kino si miskin yang mendapat sebuah mutiara.
Di era sekarang, kecepatan persebaran
informasi mengenai orang lain sudah melebihi kecepatan informasi pada cerita
yang ditulis oleh John Steinbeck. Instagram memungkinkan anda mempublikasikan
apa yang sedang anda kerjakan, dapatkan, hasilkan, peroleh dan sebagainya. Info
itu kemudian anda sebar. Mungkin anda merasa orang akan turut bahagia dengan
apa yang anda dapatkan, tapi dari sekian banyak follower anda, biasanya
ada saja yang membicarakan anda (iri).
Di sisi lain, saya juga mendapati dan
tentunya ini sangat subjektif, sepertinya John Steinbeck ingin mengabarkan
lewat cerita ini, bahwa pada masanya, orang miskin sangat tidak layak untuk
menjadi kaya. Karena apa saja potensi yang mereka punya akan dilindas habis
oleh masyarakat kelas atas. Kelas atas tidak hanya angkuh dengan kekayaannya,
tapi mereka juga tidak mau ada orang dari kelas bawah mendapatkan kebahagiaan
serupa dengan yang ia miliki. Iri dan dengki menjadi sifat khas mereka.
Terakhir, cerita ini juga menginformasikan
kepada pembaca secara tersirat bahwa ketika seseorang yang merasa ada orang
lain iri dan dengki terhadapnya, maka ia akan membalas tindakan tersebut. Itu
yang Kino lakukan ketika ancaman bertubi-tubi mendera kehidupannya. Akhirnya
beberapa orang harus tewas di tangannya.
Lihatlah betapa sering kita mendapati
status di media sosial yang isinya berupa perlawanan terhadap iri dan dengki
yang mereka terima dari orang lain. Itu merupakan bentuk perlawanan yang
standar yang bisa mereka lakukan. Sampai di sini, saya tidak tau mana yang
salah dan mana yang benar. Dan saya juga tidak perlu mengadili itu semua,
karena saya bukan hakim atau penceramah di rumah ibadah. Apakah mereka yang
memposting segala macam kebahagiaan yang mereka dapatkan itu bisa diterima? Atau
mereka yang iri terhadap kebahagiaan orang lain akibat melihat postingan
kebahagiaan tersebut yang sejatinya tercela dan layak untuk dipersalahkan?