Minggu, 17 Juni 2018

MELIHAT SIFAT IRI DALAM KARYA JOHN STEINBECK


Dulu, saat menjelang akhir studi S1, saya dan beberapa teman sering melempar tanggapan bernada sinis terhadap mereka yang lebih dulu mendapatkan pekerjaan. Di balik itu semua, mungkin ada perasaan iri yang bersarang di dalam hati. Maklumlah, mendapatkan pekerjaan yang layak tidak semudah menyusun skripsi, artinya lebih sulit lagi dari sekedar minta tanda tangan dosen pembimbing dan dosen penguji.
Mengerikan memang, membayangkan ada banyak orang yang tidak suka dengan kebahagiaan yang kita dapatkan, tapi saya yakin hampir semua orang merasakan hal demikian. Hal baik atau kebahagiaan yang hinggap pada seseorang belum tentu baik untuk orang lain. Begitupula sebaliknya, hal buruk yang menimpa seseorang belum tentu buruk untuk orang lain. Bisa jadi ada yang tertawa dengan penuh suka cita di atas penderitaan orang lain.
Bahkan saat senyum dan ucapan selamat terlempar dari mulut seseorang, belum tentu itu tulus dari dalam hati yang terdalam. Bisa jadi itu hanya ritual formal untuk menutupi kebusukan yang bersarang di dalam dada.
Di era sekarang, dimana persebaran informasi begitu luar biasa cepatnya, turut membuat perasaan iri dan dengki menular cepat bak penyakit cacar. Hal itu dikarenakan berita gembira atau kebahagiaan yang didapatkan oleh seseorang hampir bisa dikatakan pasti akan tersiar melalui media sosial. Seperti yang saya katakan tadi, meskipun ucapan selamat di kolom komentar atau simbol jempol (like) menempel di status media sosial anda, bisa jadi itu hanya sekedar formalitas belaka.
Fenomena ini sudah dikisahkan oleh John Steinbeck kira-kira lebih dari setengah abad lalu lewat novellanya yang berjudul The Pearl (“Mutiara” dalam edisi terjemahan). Novella ini berkisah tentang seseorang keluarga miskin yang begitu terpinggirkan, namun pada suatu hari mendapatkan keberuntungan. Keluarga ini, lebih tepatnya sang suami bernama Kino mendapatkan mutiara berukuran besar, indah dan berbeda dari mutiara-mutiara lainnya. 

John Steinbeck mengisahkan bahwa kampung tempat tinggal Kino dan keluarga memiliki semacam budaya yang mana informasi heboh akan menyebar dengan begitu cepat. Ia tidak mengatakan lewat perantara apa informasi itu menyebar, yang jelas bukan internet. Berita mengenai mutiara yang ditemukan oleh Kino merupakan salah satu berita penting, sehingga berita ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru daerah. Para pengemis, pendeta, dokter, dan tak lupa juga pembeli mutiara melonjak kaget. Mereka membuat berbagai macam strategi licik untuk mendapatkan mutiara yang dimiliki oleh Kino. Semenjak itulah, mutiara yang Kino dan keluarganya anggap sebagai keberuntungan, dan satu-satunya aset berharga untuk masa depan, berubah menjadi sumber bencana yang begitu mengerikan.
Pendeta yang sebelumnya tidak pernah menghiraukan Kino dan keluarganya segera datang mengunjungi Kino. Ia berpesan agar Kino dan keluarganya segera melakukan ibadah ritual yang belum mereka tunaikan, seperti pernikahan di gereja dan pembaptisan sang anak. Dokter yang awalnya menolak anak Kino untuk berobat di tempatnya juga tidak mau ketinggalan untuk menawarkan kembali pengobatan. Niat sang dokter tentu saja agar Kino bersedia berbagi hasil dari keuntungan penjualan mutiara itu kepadanya. Pembeli mutiara di pasar turut mencoba peruntungan dengan mengatur strategi agar mereka bisa mendapatkan mutiara Kino dengan harga yang semurah mungkin, tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar mereka bisa menjual kembali mutiara itu dengan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Merasa ditipu oleh banyak pihak, Kino akhirnya mengurungkan niatnya untuk menjual mutiara itu di wilayahnya. Ia bertekad untuk keluar dari kampung halamannya dan menjualnya di perkotaan. Namun mutiara itu belum berhenti menyeretnya ke dalam pusaran masalah. Ia sempat dihajar oleh orang tidak dikenal, perahunya dirusak, rumahnya dibakar, dan yang paling menyakitkan: anak satu-satunya yang ia miliki terbunuh dalam perjalanan untuk mengamankan mutiara sialan itu. Ujung cerita, mutiara itu akhirnya ia lempar kembali ke laut karena ia menganggap itu adalah sumber bencana.
John Steinbeck adalah salah satu novelis luar negeri favorit saya. Bahkan untuk saat ini saya menempatkannya pada peringkat pertama. Saya pertama kali jatuh cinta pada tulisannya ketika membaca Of Mice and Men dan Dataran Tortilla. Yang membuat saya jatuh hati adalah tokoh-tokohnya yang gemar mabuk-mabukkan, sehingga mereka seringkali memecahkan masalah dengan begitu konyol. Entah mengapa, novel dengan tokoh-tokoh seperti itu selalu saya senangi, sama seperti kumcernya Anton Chekov yang berjudul Pengakuan atau kumcernya Dea Anugrah yang berjudul Bakat Menggonggong.
Awalnya saya sempat kesal, karena novella berjudul The Pearl ini sama sekali berbeda dengan dua judul favorit saya sebelumnya. Tidak ada aroma arak dan anggur di sepanjang cerita. Tokohnya menyelesaikan konflik dengan begitu waras, tidak dengan mabuk-mabukkan. Meskipun amarah Kino seringkali meledak-meledak di penghujung cerita. Namun semuanya ia selesaikan dengan begitu jantan, tidak dengan cara yang absurd serta mengundang gelak tawa. Berbeda dengan tokoh-tokoh di Dataran Tortilla yang selalu menyelesaikan masalah dengan senyawa anggur yang masih melekat di kepala.
Kembali lagi ke inti cerita The Pearl. Iri dan dengki seringkali muncul dari kebahagiaan yang dimiliki oleh seseorang. Kebahagiaan itu barangkali tidak mendatangkan iri dengki jika orang-orang di sekitarnya tidak mendapatkan informasi mengenai kebahagiaan yang didapatkan oleh orang lain. Seperti yang dikisahkan oleh John Steinbeck dalam The Pearl, masyarakat dalam cerita yang ia tulis begitu cepat menyebarkan informasi, sehingga siapa saja dapat mengetahui info-info terkini, termasuklah informasi mengenai Kino si miskin yang mendapat sebuah mutiara.
Di era sekarang, kecepatan persebaran informasi mengenai orang lain sudah melebihi kecepatan informasi pada cerita yang ditulis oleh John Steinbeck. Instagram memungkinkan anda mempublikasikan apa yang sedang anda kerjakan, dapatkan, hasilkan, peroleh dan sebagainya. Info itu kemudian anda sebar. Mungkin anda merasa orang akan turut bahagia dengan apa yang anda dapatkan, tapi dari sekian banyak follower anda, biasanya ada saja yang membicarakan anda (iri).
Di sisi lain, saya juga mendapati dan tentunya ini sangat subjektif, sepertinya John Steinbeck ingin mengabarkan lewat cerita ini, bahwa pada masanya, orang miskin sangat tidak layak untuk menjadi kaya. Karena apa saja potensi yang mereka punya akan dilindas habis oleh masyarakat kelas atas. Kelas atas tidak hanya angkuh dengan kekayaannya, tapi mereka juga tidak mau ada orang dari kelas bawah mendapatkan kebahagiaan serupa dengan yang ia miliki. Iri dan dengki menjadi sifat khas mereka.
Terakhir, cerita ini juga menginformasikan kepada pembaca secara tersirat bahwa ketika seseorang yang merasa ada orang lain iri dan dengki terhadapnya, maka ia akan membalas tindakan tersebut. Itu yang Kino lakukan ketika ancaman bertubi-tubi mendera kehidupannya. Akhirnya beberapa orang harus tewas di tangannya.
Lihatlah betapa sering kita mendapati status di media sosial yang isinya berupa perlawanan terhadap iri dan dengki yang mereka terima dari orang lain. Itu merupakan bentuk perlawanan yang standar yang bisa mereka lakukan. Sampai di sini, saya tidak tau mana yang salah dan mana yang benar. Dan saya juga tidak perlu mengadili itu semua, karena saya bukan hakim atau penceramah di rumah ibadah. Apakah mereka yang memposting segala macam kebahagiaan yang mereka dapatkan itu bisa diterima? Atau mereka yang iri terhadap kebahagiaan orang lain akibat melihat postingan kebahagiaan tersebut yang sejatinya tercela dan layak untuk dipersalahkan?
Share: