Hai para pembaca sekalian....
Kali ini
saya akan mengulas sebuah buku (self improvment) yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, judulnya: “Sebuah Seni untuk Bersikap
Bodo Amat”. Buku ini ditulis oleh Mark Manson, seorang blogger yang blognya
telah dibaca lebih dari dua juta pembaca.
Sumber gambar: Gramedia.com |
Sebelum
kita bahas apa isinya, saya ingin menyampaikan kesan saya terhadap buku ini.
Mau bad news apa good news dulu, nih? (Niru Arman Maulana di Indonesian
Idol). Oke, good newsnya, buku ini termasuk buku self improvment
yang antimainstream. Mengapa? Karena biasanya buku yang bertemakan self
improvment itu pembahasannya seringkali mengajak kita untuk berpikir positif atau
memandang dunia ini dengan kacamata yang positif. Selain itu, buku self
improvment juga biasanya berisikan motivasi-motivasi yang intinya “Anda
Bisa!” “Sukses itu mudah” “Hidupmu baik-baik saja!” Dan segala bentuk dukungan positif
lainnya.
Namun tidak
dengan buku ini. Buku ini mengajarkan kepada kita bahwa hidup ini penuh
masalah, sulit, menderita dan banyak hal negatif di dalamnya. Bagaimana itu?
nanti kita bahas.
Bad newsnya, buku ini termasuk yang sulit dipahami,
bukan karena bahasanya yang sulit, tapi kurang detailnya penjelasan dan
(menurut saya) susunannya masih acak-acakan. Anda tau lah ya, kalau baca
tulisan yang tidak terstruktur itu sulit untuk dipahami. Sudah paham D, eh...
lompat ke T. Paham T, eh... lompat ke B. Nah... begitu lah kurang lebih rasanya
membaca buku ini. Sekali lagi, ini menurut saya.
Selain
itu, buku ini juga kadang-kadang terasa tidak konsisten. Di awal-awal kita akan
dihempaskan dengan penjelasan bahwa hal-hal yang bersifat negatif baik untuk
langkah kita ke depan. Tapi di akhir-akhir, penulis malah terlihat tampil
sebagai seorang motivator yang memberikan kiat-kiat menuju sukses, kebahagiaan,
dan hal-hal positif lainnya.
Oke,
mungkin good news dan bad news itu hanyalah perasaan saya saja,
dan sangat mungkin kalian akan merasakan hal yang berbeda.
Sekarang
kita masuk pada isi buku.
Saya
tidak akan memaparkan banyak hal mengenai isi bukunya, saya cukup memfokuskan
pada sikap bodo amatnya saja.
Pertama-tama,
kita perlu mengetahui terlebih dahulu, hal-hal apa saja yang melatarbelakangi pentingnya seni
bersikap bodo amat?
Jawabannya
adalah karena: “Sekarang ... masyarakat kita saat ini lewat keajaiban budaya
konsumen dan media sosial yang giat dijadikan ajang pamer, telah melahirkan
generasi manusia yang percaya bahwa memiliki pengalaman-pengalaman negatif ini
–rasa cemas, takut, bersalah, dan lain-lain – sangat tidak baik (2018: 7-8)”.
Anda
cemas dengan kemiskinan anda hari ini, itu tidak baik. Anda kecewa dengan
kehidupan anda, itu tidak baik. Anda kecewa dengan ujian hari ini, itu tidak
baik. Itulah yang ada hari ini. Semua ketakutan, kecemasan, kekecewaan menurut
banyak orang harus dihilangkan, karena itu tidak baik buat anda.
Dulu saya
sering diingatkan seperti ini oleh kawan-kawan ketika mengikuti suatu
perlombaan, “Sudahlah, jangan takut, positif aja, kita pasti juara!” Tau-taunya
nggak juara. Inilah yang disebut oleh Mark Manson dengan istilah “Visualisasi
konyol”, yaitu kita berlagak pasti juara hanya sekedar untuk menghilangkan rasa
cemas kita akan kekalahan. Dengan berpikiran pasti juara itulah, kawan-kawan
saya jadi malas latihan, tidak mau berjuang mati-matian, menganggap remeh
perlombaan dan sebagainya. Dan hasilnya sudah ketebak: pasti kalah.
Selain
seringnya kita menganggap penderitaan adalah sesuatu yang tidak baik, kita juga
terlalu sering memedulikan banyak hal. Menurut Mark Manson (2018: 6), “Ini
membuat anda menjadi terlalu terikat pada hal-hal yang dangkal dan palsu, anda
membiarkan hidup anda demi mengejar fatamorgana kebahagiaan dan kepuasan”.
Jadi dua
sebab itulah (menghindari penderitaan dan terlalu sering memedulikan banyak
hal), menjadikan bersikap bodo amat itu penting. Bodo amat dengan penderitaan
artinya jangan menghindar seolah-olah anda tidak menderita, dan bodo amat
terhadap hal-hal yang menurut kita tidak begitu penting. Ketika ada orang yang
bilang kita kurang ini, kurang itu; BODO AMAT.
Tapi bodo
amat yang seperti apa dulu?
Mark
Manson (2018: 14), mengatakan bahwa, “Masa bodoh atau bodo amat artinya
memandang tanpa gentar tantangan yang paling menakutkan dan sulit dalam
kehidupan dan mau mengambil suatu tindakan”.
Menurut
Mark Manson (2018: 16-21), ada tiga seni untuk bersikap masa bodoh:
1) Masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak
acuh; masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda. Intinya adalah bukan
menghindari kesulitan. Intinya adalah menemukan hal sulit yang bisa anda
hadapi dan nikmati.
2) Untuk bisa mengatakan ‘bodo amat’ pada
kesulitan, pertama-tama anda harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih
penting dari kesulitan. Jadi menemukan sesuatu yang penting dan bermakna
dalam kehidupan anda, mungkin menjadi cara yang paling produktif untuk
memanfaatkan waktu dan tenaga anda. Karena jika anda tidak menemukan sesuatu yang
penuh arti, perhatian anda akan tercurah untuk hal-hal tanpa makna dan
sembrono.
3) Entah anda sadari atau tidak, anda
selalu memilih suatu hal untuk diperhatikan.
Jadi ada
tiga hal yang penting dari tiga seni di atas, yaitu tidak menghindari
kesulitan, menemukan sesuatu yang penting dalam kehidupan, dan selalu memilih
suatu hal untuk diperhatikan. Kalau anda sudah punya tiga ini, maka barulah
anda bisa untuk bersikap bodo amat terhadap hidup anda di luar dari yang tiga
ini.
Karena
begini, penderitaan itu tidak bisa ditolak. Mau jadi apapun kita, pasti ada
menderitanya. Jadi orang kaya juga menderita, ingat menderita disini bukan
hanya fisik tapi psikis. Mau jadi orang miskin juga menderita. Mau jadi orang
baik juga menderita. Mau jadi orang jahat juga menderita. Mau berkarya dan
bekerja juga menderita. Mau diam-diam nggak bekerja juga menderita. Hidup di
dunia ini kesimpulannya adalah penuh dengan penderitaan, tidak bahagia, cemas,
takut, dan sebagainya.
Oleh
karena itu, kata Mark Manson (2018: 81), “Jika penderitaan tidak bisa ditolak,
jika permasalahan dalam kehidupan kita tidak dapat dihindari, pertanyaan yang
harus kita ajukan bukan ‘bagaimana saya menghentikan penderitaan?’ tapi
‘mengapa saya menderita-demi tujuan apa?’
Kalau
indikatornya adalah kesuksesan, maka
kata Mark Manson (2018: 84), “Mengapa saya menganggap ini sebagai kesuksesan
atau kegagalan? Bagaimana saya mengukur diri saya? Dengan standar apa saya
menilai diri saya dan setiap orang di sekitar kita?”
Oleh
karena itu, satu hal yang penting untuk kita miliki di sini adalah NILAI.
Mark
Manson (2018: 101), membagi nilai menjadi dua: baik dan buruk. Nilai yang baik:
berdasarkan pada kenyataan, membangun secara sosial, segera dan dapati
dikendalikan. Nilai-nilai yang buruk: tahayul, merusak secara sosial, tidak
segera dan tidak dapat dikendalikan.
Jadi intinya begini, penderitaan itu tidak bisa dihindari, karena tidak bisa
dihindari maka kita harus hadapi, namun tidak semua penderitaan harus kita
pilih. Oleh karena itu, untuk memilih penderitaan mana yang kira-kira harus
kita hadapi, maka kita harus punya nilai yang kita pegang. Fungsi nilai adalah
untuk mengukur; penderitaan mana yang layak kita hadapi dan mana yang tidak.
Ketika kita sudah memilih penderitaan yang ingin kita hadapi, maka barulah kita
bisa bersikap bodo amat dengan penderitaan yang tidak kita pilih.
Jika kita tidak setuju dengan nilai yang dibuat oleh Mark Manson, maka kita bisa menggantikannya dengan nilai agama. Maka praktiknya akan lebih mudah.
Jika kita tidak setuju dengan nilai yang dibuat oleh Mark Manson, maka kita bisa menggantikannya dengan nilai agama. Maka praktiknya akan lebih mudah.
Lebih
jelasnya, kalau kita gunakan contoh maka jadinya seperti ini. Kita menggunakan
nilai Islam dalam hidup (misalkan). Kita mau jadi baik; menderita, mau jadi
penjahat juga menderita. Lalu mana yang kita pilih? Tentu saja lebih baik
menderita di dalam kebaikan. Sebagaimana kita tahu, menjalankan ibadah dan
menjauhi larangan itu kan berat dan pasti menderita, tapi karena kita punya
nilai yang kita pegang, maka penderitaan itu kita jalani. Dan kita bisa
bersikap bodo amat dengan segala ejekan, makian, cacian, hinaan terhadap
apa yang sedang kita jalani.
Misalkan,
seorang perempuan berhijab dan tidak mau pacaran, menderitakah dia? Pasti, karena
ia bakal diejek dan dihina, paling tidak disindir. Saat itulah anda bisa
mengatakan bodo amat, toh anda punya nilai yang anda pegang, sehingga anda
lebih memilih penderitaan itu dibandingkan dengan penderitaan yang lain.
Begitulah
yang bisa saya tangkap dari seni bersikap bodo amat ini.
Jika anda
yang beragama lain atau bahkan tidak beragama, atau punya nilai yang berbeda dengan contoh saya, maka carilah nilai apa yang
layak anda jadikan sebagai pedoman untuk memilih penderitaan. Setelah anda
pilih, maka bersikap bodo amatlah dengan kicauan orang tentang pilihan
penderitaan anda.
Selamat
mencoba!